Sabtu, 19 Oktober 2013

Love is not Simple


Love is not Simple

Udara dingin musim kemarau menampar pelan pipi kiriku. Tak hanya tubuhku yang diselimuti hawa dingin, tapi juga hatiku. Tiba-tiba sepercik rindu akan cinta menyerbu mengisi sudut-sudut hati. Sudah begitu lama kututup hati ini. Menolak akan hadirnya cinta, menghindar dari perasaan suka. Aku hanya tidak ingin menjadi susah dengan kehadiran seorang kekasih. Mengatur jadwal main, pergi, ngampus, bahkan jadwal makanku sekalipun. Kuhembuskan nafas panjang sembari mengusir pergi perasaan yang paling tidak kuinginkan saat ini. Aku menyesap kopi yang mulai terasa dingin di cangkir.
“Bagaimana kabar kekasihmu?” pertanyaan tersebut terlontar dari teman ngopi yang duduk disebelahku. Yang ditanya hanya menghembuskan nafas panjang setelah ia mengetik sesuatu di ponselnya dan meletakkannya di atas meja.

“Tetap. Sifat posesifnya tidak berubah.” Aku mendengar jawaban tersebut diselingi desahan nada kecewa.
Begitu rumitnya kah kisah percintaan? Bukankah banyak yang bilang bahwa cinta itu sederhana? Hanya butuh dua insan yang saling mencintai, semua sudah bisa berjalan sesuai keinginan?
Aku kembali mendengarkan percakapan dua pemuda disampingku tanpa ikut bicara. Hawa dingin yang kurasakan berubah menjadi hangat. Muncul sobekan-sobekan kertas berwarna hitam berhamburan dari langit, dan suara riuh para mahasiswa memekakkan telingaku.
“Ren, gedung fakultas kita kebakaran!” Tommy hanya mencolek tanpa memandangku dan melanjutkan larinya menuju gedung fakultas yang kini tengah dilalap api.
Aku mengikuti arah larinya dan berhenti tepat dibelakangnya, kemudian disusul dengan teman-temanku yang lain.
“Ren!” Friska, teman satu kelasku yang paling gendut histeris memanggil namaku.
“Apa sih? Aku disini, bukan didalam. Kenapa histeris begitu?” jawabku sewot.
Mata Friska berkaca-kaca, begitu pula dengan Tania sahabat dekatnya. Aku dan Tommy hanya bias berpandangan melihat sikap mereka berdua yang aneh.
“Friska, Tania. Udah dong, mereka yang didalam tidak akan kenapa-kenapa.” Tommy menenangkan. Karena memang, beberapa petugas penyelamat sudah datang.
“Tom, Ren. Rizky masih ada didalam. Dia masih ada dilantai 4.” Friska kembali bicara. Kini kedua pipinya sudah basah oleh air mata. Rizky, teman satu kelas dan teman terdekatku pula ternyata masih ada didalam gedung. Sedang apa dia disana? Aku melihat Tommy yang mengerutkan alis. Wajahnya berubah semakin cemas.
 “Kak, mana kak Rizky?” Sara Anggoro. Gadis yang beberapa bulan ini sering terlihat bersama Rizky, tiba-tiba datang menghampiri kami dan menanyakan tentangnya. Kami hanya sanggup diam sambil melirik kearah kobaran api.
Sara langsung paham maksud kami. Ia berusaha menyerbu kerumunan untuk dapat berlari kearah gedung.
“Sara!” aku meraih pergelangan tangannya. Menahannya untuk pergi.
“Rizkyyy…” ia berteriak histeris. Tangisnya pecah dan tubuhnya terguncang hebat.
Aku memegangnya lebih kuat, tapi Sara tidak bisa diam dan terus berusaha melepaskan peganganku. Sesekali ia bisa kabur, namun sedetik kemudian aku kembali menahannya. Kobaran api yang melahap sebagian gedung terlihat semakin besar. Kini sang Jago Merah semakin sulit untuk dijinakkan. Berkali-kali Sara meneriakkan nama Rizky. Wajahnya basah, tangannya berkeringat, ia mulai terlihat lelah. Namun ia tak berhenti mencoba melepaskan cengkeraman tanganku.
“Sara, Rizky pasti baik-baik saja.” Aku mencoba menghiburnya.
“Tidak! Dia pacarku dan sekarang dia ada didalam gedung yang hampir terbakar seluruhnya. Apa kau pikir ia akan baik-baik saja?!” Sara berteriak padaku. Wajahnya garang. Menunjukkan perasaannya yang sangat kacau.
Tak lama kemudian para petugas penyelamat keluar dari dalam gedung sambil membopong beberapa korban. Mengetahui kekasihnya berada dalam rombongan, Sara melepas cengkeramanku dan berlari menghampiri kekasihnya. Ia langsung memeluk dan mencium kening Rizky. Rona bahagia menyinari wajahnya.
Aku terpaku. Seperti tertancap pada bumi. Itukah cinta? Pengorbanannya yang begitu besar membuat orang hampir bertindak konyol. Menyerbu masuk kedalam gedung yang sedang dimakan api tanpa adanya pengamanan apa namanya kalo bukan konyol? Tapi, begitukah cinta? Sesederhana itukah? Hanya butuh dua orang yang saling mencintai?!
Aku menghampiri Sara yang sedang menunggu kekasihnya diperiksa oleh tim medis, dengan pelan, aku bertanya padanya. “Apa alasanmu ingin menyelamatkan Rizky?”
Sara menoleh padaku dan mengernyit, wajahnya terlihat bingung, seakan-akan aku baru saja menanyakan soal penjumlahan 1+1 padanya.
Aku ikut mengernyitkan keningku, berharap mendapat jawaban darinya, kemudian ia pun tersadar dan tersenyum.
“Alasan?” ia malah menanyakan kembali pertanyaanku. Lalu akupun mengangguk mengharap segera mendapat jawaban. “Mungkin, karena aku kekasihnya, karena aku mencintainya.” jawabnya.
“Cinta? Lalu apa alasan kau mencintainya?”
Sara kembali mengernyit yang membuatku semakin jengkel dan penasaran. “Perlukan sebuah alasan untukmu mencintai seseorang?”
Kenapa dia malah kembali bertanya padaku? Aku hanya mengedikkan bahu tanda tak mau menjawab apaun. Namun Sara kembali tersenyum dan menghela napas.
“Kak, kurasa cinta tak butuh sebuah alasan. Karena jika cinta membutuhkan alasan, ketika alasan itu hilang maka cinta akan hilang bersamanya.”[1]
“Jadi, cinta se simple itu? Hanya membutuhkan dua orang lalu cinta muncul?”
Sara menegakkan tubuhnya. “Cinta tak pernah se simple yang orang kira. Cinta itu rumit. Banyak sekali intrik didalamnya. Tak hanya menyatukan dua orang dalam sebuah perjanjian untuk saling mencintai, tapi juga menyatukan sifat, sikap, pemikiran, dan sebagainya. Tak mungkin ada cinta jika kalian tak sehati dalam berbagai hal. Memang sepasang kekasih terkadang banyak perbedaan, tapi banyak pula persamaan diantara keduanya. Dan ketika mereka sudah menjadi kekasih, hubungan mereka tak se simple yang orang lihat dari luar. Perdebatan sering kali ada dan mereka harus bisa menemukan jalan keluarnya. Cinta itu rumit. Kau harus mencampurkan banyak sekali rasa rindu, pengertian, perhatian, bubuk-bubuk cemburu, dan sebagainya sesuai takarannya agar kau menjadi pasangan yang awet dan tahan lama.”
“Jadi? Cinta tak pernah sesederhana itu?”
Sara mengangguk setuju. “Ya, Love is not simple.”

TAMAT


[1] Dikutip dari novel Separuh bintang karya Evline Kartika

1 komentar: