Kamis, 12 Juni 2014

Aku Tidak Ingin Membahas Masalah Cinta


19.03. Rumah
Nadia membuka pintu pagar rumahnya, ia melangkah masuk dengan gontai. Pikirannya menerawang jauh kembali kesaat dia berada dikampus tadi. Gadis bertubuh ramping itu menghembuskan nafas berat, berharap semua masalah yang dihadapinya bisa pergi jauh. Ia melepas kedua sepatunya dan meletakkannya di rak, mengucap salam dan mulai memasuki rumah.
“Dari mana saja Kak? Kok jam segini baru pulang?” tanya seorang wanita paruh baya yang sedang duduk di sofa dengan nada sedikit marah, mengamati anak kedua nya memasuki rumah dengan lesu. Maklum, akhir-akhir ini Nadia sangat sering pulang terlambat. Kalau tidak ada pekerjaan paruh waktu, ia bisa sampai rumah seperti sekarang, atau bahkan lebih malam lagi.

“Biasa, tugas kampus banyak bu.” Gadis berkerudung hitam itu menjawab pertanyaan ibunya tanpa menoleh, ia terus berjalan menuju kamarnya.
Tak hanya pulang terlambat karena tugas. Saat tak ada tugas pun, untuk melepas penat akan semua masalah yang membebani hati dan pikirannya ia sengaja menghabiskan waktu bersama teman-temannya hingga larut malam.
Nadia membuka pintu kamar, menekan saklar lampu, melepas tas punggungnya, dan segera ia pergi membersihkan diri.
###
19.48. Kamar
Ia sama sekali tidak merasa lapar. Pikirannya penuh dengan beribu-ribu pertanyaan yang tidak bisa terjawab. Sesekali ia memandang isi kamarnya. ‘Berada dirumah tak jauh berbeda dengan berada di kos-kosan.’ pikirnya. Memang, semenjak ia mendapat pekerjaan paruh waktu untuk menyambi kuliahnya, ia sangat jarang berada dirumah, mengobrol asik dengan orang tua dan saudara-saudaranya. Itu sebabnya ia merasa bahwa ia sekarang sedang berada di kos-kosan.
Nadia memejamkan kedua matanya, membiarkan kamar kos-kosannya dalam keadaan tidak karuan, seperti hati dan pikirannya yang saat ini dibiarkannya tidak karuan. Entah kapan ia mulai bisa untuk menatanya kembali.
Nadia membuka kembali kedua matanya saat ia dengar ponselnya bordering nyaring. Ada yang sedang mengirim pesan Whats App padanya, dari Nindy.
Hei, apa kau galau?
Ia tersenyum sejenak, kemudian mengetik pesan balasan untuk sahabatnya itu.
Yaa, begitulah..
Ia meletakkan ponselnya kembali, dan memejamkan kembali kedua matanya, teringat lagi peristiwa dikampus tadi sore, yang ia harap dapat menjawab segala pertanyaan hatinya selama ini malah menimbulkan puluhan tanda tanya di sudut-sudut hatinya.
###
16.05. Kampus
“Kalau memang kau masih penasaran, bicara saja langsung padanya.” Tiba-tiba Nindy mengucapkan hal yang sangat tidak terduga. Nadia, yang tengah asik dengan laptopnya mendadak berhenti, menatap lurus wajah sahabat karibnya itu.
“Kau gila! Mana aku berani!”
“Nadia, kau masih penasaran kan dia menyukaimu atau tidak. Selagi dia ada disini, tanyakan saja langsung padanya.”
Tanpa memperdulikan ucapan sahabatnya itu, Nadia masih saja sibuk dengan laptopnya. Melihat tak ada perubahan dari tingkah laku gadis didepannya, Nindy pun merasa kesal.
“Oke, kalau kau tidak berani mengatakannya, aku yang akan mengatakan semuanya padanya.” Setelah berkata seperti itu Nindy berdiri, berjalan mendekati laki-laki berkulit putih dengan jaket parasit yang sedang berada di parkiran.
Melihat sahabatnya yang tiba-tiba berdiri dan berlari menghampiri laki-laki itu, Nadia terkejut. Tapi apa daya, ia tak bisa berbuat apa-apa. Ia bahkan tak mampu berhadapan langsung dengan laki-laki itu.
Nadia mengendurkan kedua bahunya, ia merasa tegang saat Nindy tiba-tiba berdiri tadi. Ia menghembuskan napas pelan, mencoba kembali focus pada laptopnya. Namun ia tak bisa, matanya terus menatap tajam ke parkiran. Mencari sosok sahabatnya dan laki-laki yang telah membuat hati dan pikirannya kacau dalam sekejap!
Tak berapa lama kemudian, ia kembali tegang saat Nindy melangkah menghampirinya. Hatinya sangat kacau ketika ia mendapati wajah sahabatnya yang tidak menunjukkan rasa puas. Nadia mempersilahkan Nindy untuk duduk disampingnya. Setelah itu, mengetahui apa yang sedang ditunggu oleh Nadia, Nindy pun menggeleng perlahan.
Nadia menghembuskan nafas, lagi. Ia tau hal ini yang akan diterimanya. Puluhan rasa kecewa menyelinap masuk tanpa permisi. Ribuan tanda tanya kembali mengusik pikirannya.
“Apa yang ia katakan?” tanyanya.
“Ia bilang kalau ia sudah mengatakan semuanya padamu. Ia juga berkata kalau tak ada lagi yang perlu untuk dibicarakan. Maaf Nadia, aku sudah berusaha memaksanya tadi.”
“Sudahlah Nindy. Tak apa. Sudah banyak yang kau lakukan untukku. Terimakasih.” Nadia tersenyum tulus pada sahabatnya. Ia merasa bahwa ia sudah sangat tertolong. “Ada lagi yang dikatakan olehnya?” tanyanya lagi.
“’Aku tidak ingin membahas masalah cinta’ begitu katanya.”
Nadia kembali tersenyum, ia sudah tau hal ini yang pasti akan diterimanya. Ia sudah mengetahui bahkan sebelum ia memiliki rasa aneh ini. Tapi entah kenapa, hatinya terus memaksanya untuk tidak mau tau dan membohongi logikanya. Mungkin karena ia suka, dan ia pun berharap laki-laki itu memiliki rasa yang sama.
###

Tidak ada komentar:

Posting Komentar