19.03. Rumah
Nadia membuka pintu pagar rumahnya,
ia melangkah masuk dengan gontai. Pikirannya menerawang jauh kembali kesaat dia
berada dikampus tadi. Gadis bertubuh ramping itu menghembuskan nafas berat,
berharap semua masalah yang dihadapinya bisa pergi jauh. Ia melepas kedua
sepatunya dan meletakkannya di rak, mengucap salam dan mulai memasuki rumah.
“Dari mana saja Kak? Kok jam segini
baru pulang?” tanya seorang wanita paruh baya yang sedang duduk di sofa dengan
nada sedikit marah, mengamati anak kedua nya memasuki rumah dengan lesu.
Maklum, akhir-akhir ini Nadia sangat sering pulang terlambat. Kalau tidak ada
pekerjaan paruh waktu, ia bisa sampai rumah seperti sekarang, atau bahkan lebih
malam lagi.
“Biasa, tugas kampus banyak bu.”
Gadis berkerudung hitam itu menjawab pertanyaan ibunya tanpa menoleh, ia terus
berjalan menuju kamarnya.
Tak hanya pulang terlambat karena
tugas. Saat tak ada tugas pun, untuk melepas penat akan semua masalah yang
membebani hati dan pikirannya ia sengaja menghabiskan waktu bersama
teman-temannya hingga larut malam.
Nadia membuka pintu kamar, menekan
saklar lampu, melepas tas punggungnya, dan segera ia pergi membersihkan diri.
###
19.48. Kamar
Ia sama sekali tidak merasa lapar.
Pikirannya penuh dengan beribu-ribu pertanyaan yang tidak bisa terjawab.
Sesekali ia memandang isi kamarnya. ‘Berada
dirumah tak jauh berbeda dengan berada di kos-kosan.’ pikirnya. Memang,
semenjak ia mendapat pekerjaan paruh waktu untuk menyambi kuliahnya, ia sangat
jarang berada dirumah, mengobrol asik dengan orang tua dan saudara-saudaranya.
Itu sebabnya ia merasa bahwa ia sekarang sedang berada di kos-kosan.
Nadia memejamkan kedua matanya,
membiarkan kamar kos-kosannya dalam keadaan tidak karuan, seperti hati dan
pikirannya yang saat ini dibiarkannya tidak karuan. Entah kapan ia mulai bisa untuk
menatanya kembali.
Nadia membuka kembali kedua matanya
saat ia dengar ponselnya bordering nyaring. Ada yang sedang mengirim pesan Whats App padanya, dari Nindy.
Hei, apa kau galau?
Ia tersenyum sejenak, kemudian
mengetik pesan balasan untuk sahabatnya itu.
Yaa, begitulah..
Ia meletakkan ponselnya kembali,
dan memejamkan kembali kedua matanya, teringat lagi peristiwa dikampus tadi
sore, yang ia harap dapat menjawab segala pertanyaan hatinya selama ini malah
menimbulkan puluhan tanda tanya di sudut-sudut hatinya.
###
16.05. Kampus
“Kalau memang kau masih penasaran,
bicara saja langsung padanya.” Tiba-tiba Nindy mengucapkan hal yang sangat
tidak terduga. Nadia, yang tengah asik dengan laptopnya mendadak berhenti, menatap
lurus wajah sahabat karibnya itu.
“Kau gila! Mana aku berani!”
“Nadia, kau masih penasaran kan dia
menyukaimu atau tidak. Selagi dia ada disini, tanyakan saja langsung padanya.”
Tanpa memperdulikan ucapan
sahabatnya itu, Nadia masih saja sibuk dengan laptopnya. Melihat tak ada
perubahan dari tingkah laku gadis didepannya, Nindy pun merasa kesal.
“Oke, kalau kau tidak berani
mengatakannya, aku yang akan mengatakan semuanya padanya.” Setelah berkata
seperti itu Nindy berdiri, berjalan mendekati laki-laki berkulit putih dengan
jaket parasit yang sedang berada di parkiran.
Melihat sahabatnya yang tiba-tiba
berdiri dan berlari menghampiri laki-laki itu, Nadia terkejut. Tapi apa daya,
ia tak bisa berbuat apa-apa. Ia bahkan tak mampu berhadapan langsung dengan
laki-laki itu.
Nadia mengendurkan kedua bahunya,
ia merasa tegang saat Nindy tiba-tiba berdiri tadi. Ia menghembuskan napas
pelan, mencoba kembali focus pada laptopnya. Namun ia tak bisa, matanya terus
menatap tajam ke parkiran. Mencari sosok sahabatnya dan laki-laki yang telah
membuat hati dan pikirannya kacau dalam sekejap!
Tak berapa lama kemudian, ia
kembali tegang saat Nindy melangkah menghampirinya. Hatinya sangat kacau ketika
ia mendapati wajah sahabatnya yang tidak menunjukkan rasa puas. Nadia mempersilahkan
Nindy untuk duduk disampingnya. Setelah itu, mengetahui apa yang sedang
ditunggu oleh Nadia, Nindy pun menggeleng perlahan.
Nadia menghembuskan nafas, lagi. Ia
tau hal ini yang akan diterimanya. Puluhan rasa kecewa menyelinap masuk tanpa
permisi. Ribuan tanda tanya kembali mengusik pikirannya.
“Apa yang ia katakan?” tanyanya.
“Ia bilang kalau ia sudah
mengatakan semuanya padamu. Ia juga berkata kalau tak ada lagi yang perlu untuk
dibicarakan. Maaf Nadia, aku sudah berusaha memaksanya tadi.”
“Sudahlah Nindy. Tak apa. Sudah
banyak yang kau lakukan untukku. Terimakasih.” Nadia tersenyum tulus pada
sahabatnya. Ia merasa bahwa ia sudah sangat tertolong. “Ada lagi yang dikatakan
olehnya?” tanyanya lagi.
“’Aku tidak ingin membahas masalah cinta’ begitu katanya.”
Nadia kembali tersenyum, ia sudah
tau hal ini yang pasti akan diterimanya. Ia sudah mengetahui bahkan sebelum ia
memiliki rasa aneh ini. Tapi entah kenapa, hatinya terus memaksanya untuk tidak
mau tau dan membohongi logikanya. Mungkin karena ia suka, dan ia pun berharap
laki-laki itu memiliki rasa yang sama.
###
Tidak ada komentar:
Posting Komentar