Jumat, 21 Oktober 2011

DIANA



Aku baru merasakan perasaan yang aneh ini ketika ku berumur 16 tahun, aku benar-benar masih ingat waktu itu. Saat aku sibuk membayar uang kurangan pada penjual minuman, dan saat itulah ia datang.

***
Siang ini terasa sangat panas, Kara berjalan menyusuri trotoar yang penuh debu, hendak pulang kerumahnya. Tapi panasnya matahari benar-benar membuatnya lelah, akhirnya cowok bertubuh tinggi itu berhenti didepan seorang pedagang kaki lima.
“Es-nya satu bang!”
Dengan buas Kara menenggak habis es-nya itu, membiarkan es-nya mengalir deras di tenggorokannya dan langsung nyemplung ke perutnya. Ketika haus dan rasa lelahnya terobati, Kara segera beranjak, Ia merogoh saku hendak membayar, namun ia tak menemukan apa yang ia cari. Kara ingat kok tadi ada lembar uang 5000 disakunya.
 “Ntar dulu deh bang, biar saya ambil uang dulu, uangnya kurang nih.” Ucap Kara pada sang penjual.
“Nggak bisa mas..” jawab si penjual, tetep keukeuh dengan pendiriannya, ‘nggak ada yang boleh ngutang!’
Kara terdiam, haduhh, gimana ini? Minuman udah masuk ke tenggorokan, tapi ternyata uangnya kurang. Masa mau dimuntahin lagi? Mana mau orangnya, pikirnya dalam hati.
“Kurang berapa bang? Nih biar saya yang bayar.” Kata seseorang seraya menyodorkan sejumlah uang. Kontan Kara menoleh kaget. Tapi yang dilihatnya adalah seorang cewek dengan paras yang cantik dan mempesona, juga hatinya yang baik.
“Gue Diana.” Cewek itu menyodorkan tangan sambil tersenyum. Seketika itu juga terlihat lesung pipi yang nongol dikedua pipinya.
“Kara.” Jawab Kara membalas uluran tangan Diana. “Araichi.” Tambahnya kemudian.
Diana terdiam sambil mengangkat kedua alisnya, nunjukin banget kalo dia nggak ngeh ama apa yang diomongin Kara.
“Kara Araichi. Itu nama lengkap gue.” Kata Kara lagi, memperjelas ucapannya.
“Nama lo, aneh.. tapi lucu..” ucap Diana sambil tersenyum.
“Haha.. lo orang ke 1738 yang bilang kaya gitu.”
“Ha? Orang pertamanya siapa?” Tanya Diana penasaran. Baru aja ketemu, udah dibikin penasaran ama cowok berkulit kuning langsat dihadapannya itu, pikir Diana.
“Mau tau?” goda Kara, disambut dengan anggukan kepala Diana. Kara hampir tertawa geli melihat tampang antusias Diana.
“Orang pertamanya Ayah gue, soalnya yang ngasih nama tu Bunda gue. Katanya sihh nama ini plesetan dari nama mantannya Bunda dulu. Lo tau apa reaksi Ayah gue ngedenger cerita ini?” goda Kara lagi yang masih disambut dengan anggukan kepala Diana.
“Menurut cerita Bunda, Ayah langsung ngambek. Selama seminggu dia nggak mau ngegendong gue.” Kara menutup ceritanya sambil tersenyum. Entah sudah kali keberapa Kara menceritakan tentang asal usul namanya itu. Dan selalu dijawab dengan ledakan tawa dari orang yang mendengar ceritanya. Tapi Kara tak juga mendengar ledakan tawa Diana. Setelah menoleh ke orang yang dituju, terlihat Diana sedang berpikir keras. Kemudian dia mulai senyum-senyum sendiri.
 “Tega bener Bunda lo.” Jawab Diana sambil senyum.
Melihat Diana tersenyum Kara jadi ikut tersenyum. Entah sejak kapan mereka jadi semakin akrab begitu. Mereka pun bertukar nomor HandPhone agar tidak lost contact.

***
Suatu malam, dengan nuansa kamar yang khas cowok, penuh dengan tempelan poster band, seorang cowok sedang duduk di pinggir tempat tidurnya, terlihat ia sedang berpikir keras, di tangannya tergenggam sebuah HandPhone, beberapa kali ia memencet tombol hijau, namun 3 detik kemudian ia memencet tombol merah, wajahnya menandakan kegundahan hatinya, sesekali ia acak-acak rambutnya yang sudah berantakan menjadi ngga keruan, dilayar HandPhone tertulis nama “Diana”.
Ia pun berdiri, memejamkan mata sejenak, kemudian membukanya lagi, ia hembuskan nafas keyakinannya, dan mulai memencet tombol hijau untuk kesekian kalinya.
“Halo? Ada apa Ra?” jawab Diana
“Ehh, emm, anu Di.. besok pulang sekolah gue jemput disekolah lo ya? Gue mau ngomong sesuatu ma lo bisa?”
“Bisa kok, besok gue tunggu disekolah.”
Setelah hari yang dijanjikan tiba, Kara membawa Diana ke tempat yang sudah ia rencanakan sebelumnya. Sebuah taman di dekat perumahan.
“Ra.. lo ngapain ngajak gue kesini?” tanya Diana yang kebingungan.
“Hm.. Di, gue pengen ngomong serius dan jujur ke lo, tapi lo janji ya jangan ngetawain gue.”
“Iya iya, lo mau ngomong apaan sih? Dari kemaren ribet banget.”
“Di, lo cewek yang baek, lo cantik, dari awal ketemu gue udah kagum ama elo, dan… “ kara mengeluarkan setangkai mawar putih dari dalam tasnya. “Would you be my sweet darling Diana?”
Yang ditanya tercengang, bibirnya setengah terbuka, mungkin cukup untuk dimasuki sebutir kelereng, setelah ia sadar dari keterkejutannya, ia mulai menjawab pertanyaan Kara.
“Tapi Ra, biasanya orang nembak pake mawar merah, napa lo pake mawar putih?”
“Hm.. Di, gue lebih suka mawar putih, bagi gue mawar putih seperti seputih cinta gue buat elo dan ngga bernoda.” jawab Kara dengan muka merah padam menahan malu.
Diana tersenyum, mengambil setangkai mawar putih dari tangan Kara, kemudian menjawab. “Be my sweet darling too, Kara.”
Gantian Kara yang kini tercengang, tak sadar akan apa yang diucapkan gadis berambut ikal sebahu dihadapannya itu. Namun kemudian ia tersenyum.
“Thanks Di.”
Kedua anak remaja tersebut sedang dikelilingi perasaan bahagia yang sangat bahagia, bisa mengutarakan perasaan satu sama lain. Mereka berfoto, makan, nonton, apapun mereka lakukan untuk merayakan hari jadi mereka.
Ditengah perjalanan pulang, wajah kara terlihat sangat pucat, ia memegangi dadanya, nafasnya naik turun.
“Ra, lo ngga apa-apa? Lo sakit?” Diana kebingungan melihat wajah pucat Kara.
“Gue ngga apa-apa kok Di, mungkin cuma kecapek-an, ayo buruan kita pulang.”
Diana yang tak mtau apa-apa pun langsung menuruti kata-kata Kara. Setelah mengantar Diana pulang kerumahnya, Kara melaju pulang kerumahnya sendiri. Tapi, ketika akan masuk kerumah, kara pun ambruk.

***
Setelah kejadian Kara ambruk didepan rumahnya 3 hari yang lalu, Bunda kara langsung membawanya  kerumah sakit. Sampai saat ini Kara belum membuka kedua matanya, namun keadaannya semakin hari semakin membaik. Diana setiap hari datang menjenguknya, tak lupa setiap hari pula ia membawa setangkai mawar putih dan meletakkannya di vas bunga disamping ranjang Kara. Dengan sabar Diana selalu menanti Kara membuka kedua matanya. Orang tua Diana pun sesekali datang untuk melihat bagaimana keadaan kekasih hati anak gadisnya itu.
Di malam hari ke-4, Diana masih duduk tenang di samping ranjang Kara, ia tetap sabar menanti kesembuhan Kara. Ketika ia memejamkan matanya sejenak, sebuah sentuhan mampir ke pundaknya.
“Di, udah malem, kamu ngga pulang?” ternyata pemilik sentuhan tersebut Bunda Kara.
“Engga Bund, Diana mau nemenin Kara.” Jawab Diana pelan. “Bund, boleh Diana tanya?” lanjutnya.
“Ada apa sayang?”
“Kenapa Kara ngga mau bilang ke Diana kalau Kara punya sakit jantung?”
Bunda terdiam sejenak, menghela nafas. “Kara memang sakit dari kecil, tapi setelah ketemu kamu Kara menjadi lebih bersemangat, dia melarang Bunda bicara padamu nak, alasannya Kara ngga mau lihat kamu kecewa dan sedih.”
Setelah mengetahui alasan Kara menutupi sakitnya, Diana tertunduk, membiarkan tetes demi tetes air matanya mengalir kepipinya yang putih. Kemudian dengan pelan Bunda meninggalkannya.

***
Setelah sekitar 1 minggu Kara terbaring lemah dirumah sakit, akhirnya Kara pulang. Diana pun tetap menemani Kara baik di rumah sakit maupun di rumah, Gadis manis itu tetap menjaga Kara, mendampingi, dan merawatnya. Kara sudah lebih baik tapi Diana selalu melarangnya untuk beranjak dari ranjang kecuali untuk kekamar mandi dan sholat saja. Selebihnya? Kara hanya geser sana geser sini diatas kasur.
 “Ra, gue pulang ya. Gue mau ngambil sesuatu buat elo.” Kata Diana.
“Perlu gue anter?” tawar Kara.
“Ngga usah Ra, lo masih sakit.”
“Gue udah ngga apa-apa Di, gue dah sehat. Elonya aja yang ngiranya gue masih sakit.”
“Ngga usah, gue pulang sendiri aja, biasanya juga gitu kan?” Diana terus menolak tawaran Kara untuk mengantarkannya pulang. “Ra, ntar kalo gue nggak balik-balik kesini, lo yang kerumah gue.” Lanjutnya.
Kara mengangguk tanda setuju, dan mengantarkan Diana ke pintu depan. Tiba-tiba Diana berhenti, membalikkan badannya kearah Kara, dan menyunggingkan senyum tulus termanis yang ia miliki, sambil berkata. “Ra, gue sayang sama elo.” 
Kara mengantar kepergian Diana dengan tatapan matanya, setelah itu ia kembali berbaring diatas kasurnya. Waktu sudah berjalan lebih dari setengah jam, dari raut muka yang biasa, kini Kara mulai menampakkan perasaan gelisahnya, ia merasa khawatir mengapa sampai sekarang Diana belum kembali kerumahnya. Cukup lama ia mondar-mandir di depan pintu rumah, bunda yang melihatnya pun ikut bingung sendiri.
“Kamu kenapa nak?” tanya Bunda akhirnya setelah cukup pusing melihat kelakuan anaknya sedari tadi.
“Diana Bund, kok udah setengah jam lebih nggak balik-balik kesini ya Bund? Kara jadi khawatir.”
“Sudah kamu coba buat telpon?”
Kepala Kara terangkat, kemudian ia langsung menyambar HandPhonenya dan menghubungi Diana.
“Halo?” setelah cukup lama akhirnya telpon tersambung juga. Namun Kara yakin betul ini bukan suara Diana, ini suara seorang lelaki.
“Mana Diana?” Tanya Kara tak sabar.
 “Maaf mas, tadi terjadi kecelakaan dan pemilik HandPhone ini yang jadi korban.”
Perkataan laki-laki di telpon itu bagaikan petir ditelinga Kara, bibirnya setengah terbuka dan alisnya hampir menyatu ditengah-tengah. HandPhone yang ada tadi di genggamnya dengan erat pun meluncur dan menabrak permukaan lantai sehingga menimbulkan suara yang cukup mampu membuat Bunda terkejut.
Sudah kedua kalinya Bunda melihat wajah anak semata wayangnya itu gelisah, namun kecemasan kini tak dapat ia sembunyikan lagi saat ia melihat mata Kara yang mulai berkaca-kaca.

***
Di tengah ruang tamu itu, terbaring lemah seorang gadis berambut ikal sebahu, berwajah manja namun manis, Kara kenal betul siapa gadis yang tertidur di tengah-tengah kerumunan orang itu. Kekasih hatinya, seseorang yang selama ini selalu menemani dan merawatnya, Diana. Kara terduduk disamping jenazah Diana, menatap lemah, dan membisu. Ia tahan tangis dan perasaan harunya yang ingin ia curahkan pada Diana. Ia hanya tak ingin sang kekasih turut sedih melihat kesedihan hatinya.
 “Ungkapkan kesedihanmu nak, menangislah.” tiba-tiba Tante Sinta, ibunda Diana, berbicara sambil tersenyum pada Kara.
“Engga Tante, Kara nggak mau Diana ikut sedih.”
“Tangisanmu untuk Diana hari ini, adalah wujud cintamu padanya, percayalah.”
Senyuman Tante Sinta serta perkataannya barusan mampu membuat Kara diam seribu bahasa. Ia tatap wajah Diana yang kini pucat pasi, dan ia tumpahkan semua yang ia tahan sedari tadi.
“Kenapa lo tinggalin gue Di? Kenapa harus elo yang pergi? Kenapa bukan gue yang udah sakit-sakitan dari kecil ini? Kenapa mesti cewek baik kayak elo? Kenapa?” tangis Kara tak mampu ia bendung lagi, ia hanya ingin Diana tau, bagaimana perasaannya.
“Kara, ini sudah takdir, mungkin memang sudah saatnya Diana harus pergi sekarang, dan tidak ada satu orangpun yang bisa menghalangi Allah melakukan kehendak-Nya. Yang bisa kita lakukan saat ini hanyalah berdo’a untuk Diana.” Tante Sinta kembali berkata pada Kara, matanya masih sembab setelah menangisi kepergian putrinya berjam-jam yang lalu.
 “Diana punya ini buat kamu.” Tambah Tante Sinta sambil mengulurkan secarik kertas pada Kara. Kertas putih dengan penuh tinta biru didalamnya, menuliskan sebuah syair lagu.
I wanna call the stars
Down from the sky
I wanna live a day
That never dies
I wanna change the world
Only for you
All the impossible
I wanna do

I wanna hold you close
Under the rain
I wanna kiss your smile
And feel the pain
I know whats beautiful
Looking at you
In a world of lies
You are the truth

And baby
Everytime you touch me
I become a hero
Ill make you safe
No matter where you are
And bring you
Everything you ask for
Nothing is above me
Im shining like a candle in the dark
When you tell me that you love me

I wanna make you see
Just what I was
Show you the loneliness
And what it does
You walked into my life
To stop my tears
Everythings easy now
I have you here

In a world without you
I would always hunger
All I need is your love to make me stronger
When you tell me that you love me

Kara Araichi, I Love You .. J

Air mata Kara pecah, ia tak mampu lagi menahan semuanya, menahan kesedihan hatinya. Ia masih tak percaya kekasih hatinya itu telah pergi untuk selamanya, ia tau beberapa jam yang lalu Diana masih merawatnya dirumah.
Suasana haru, duka, sedih masih menyelimuti rumah Diana. Kara masih shock dan tak menyangka, secepat itu Diana pergi meninggalkannya. Kembali teringat kebaikan yang Diana  beri padanya, tapi Kara tau dia harus menerima kenyataan, bahwa Diana, telah tiada.

***
Acara pemakaman Diana selesai 20 menit yang lalu, namun Kara masih terduduk disamping pusara Diana. Diletakkannya se-bucket mawar putih disamping nisan Diana.
Cowok bertubuh tinggi itu berdiri, ditatapnya langit yang kini mulai berwarna merah, ia hapus sisa air mata yang masih ada di pipinya, dan ia tersenyum.
“Lo liat gue dari sana kan Di? Lo perlu tau kalo gue masih sayang ama elo, makasih untuk semua kebaikan yang lo kasih buat gue. Dan gue yakin, lo masih terus ngejaga gue dari sana.” Ucapnya sambil mengembangkan seulas senyum.
Kara kembali menatap pusara Diana, mengambil setangkai mawar putih dari sana, dan ia berjalan pulang. Namun jalannya terhenti, untuk kesekian kalinya ia menoleh pada pusara Diana, dan kembali menyunggingkan seulas senyum sambil berbisik. “Diana Bella Anindita, I Love You So Much.”

SELESAI

2 komentar:

  1. aku ingat, aku menangis saat aku membaca cerpen ini :)

    BalasHapus
  2. plis, namanya jangan diana.
    ganti indah aja bisa?
    wkwk :D

    BalasHapus