Love is not Simple
Udara dingin musim kemarau menampar
pelan pipi kiriku. Tak hanya tubuhku yang diselimuti hawa dingin, tapi juga
hatiku. Tiba-tiba sepercik rindu akan cinta menyerbu mengisi sudut-sudut hati.
Sudah begitu lama kututup hati ini. Menolak akan hadirnya cinta, menghindar
dari perasaan suka. Aku hanya tidak ingin menjadi susah dengan kehadiran
seorang kekasih. Mengatur jadwal main, pergi, ngampus, bahkan jadwal makanku
sekalipun. Kuhembuskan nafas panjang sembari mengusir pergi perasaan yang paling
tidak kuinginkan saat ini. Aku menyesap kopi yang mulai terasa dingin di
cangkir.
“Bagaimana kabar kekasihmu?”
pertanyaan tersebut terlontar dari teman ngopi yang duduk disebelahku. Yang
ditanya hanya menghembuskan nafas panjang setelah ia mengetik sesuatu di
ponselnya dan meletakkannya di atas meja.
“Tetap. Sifat posesifnya tidak
berubah.” Aku mendengar jawaban tersebut diselingi desahan nada kecewa.
Begitu rumitnya kah kisah
percintaan? Bukankah banyak yang bilang bahwa cinta itu sederhana? Hanya butuh
dua insan yang saling mencintai, semua sudah bisa berjalan sesuai keinginan?
Aku kembali mendengarkan percakapan
dua pemuda disampingku tanpa ikut bicara. Hawa dingin yang kurasakan berubah
menjadi hangat. Muncul sobekan-sobekan kertas berwarna hitam berhamburan dari
langit, dan suara riuh para mahasiswa memekakkan telingaku.
“Ren, gedung fakultas kita
kebakaran!” Tommy hanya mencolek tanpa memandangku dan melanjutkan larinya
menuju gedung fakultas yang kini tengah dilalap api.
Aku mengikuti arah larinya dan
berhenti tepat dibelakangnya, kemudian disusul dengan teman-temanku yang lain.
“Ren!” Friska, teman satu kelasku
yang paling gendut histeris memanggil namaku.
“Apa sih? Aku disini, bukan
didalam. Kenapa histeris begitu?” jawabku sewot.
Mata Friska berkaca-kaca, begitu
pula dengan Tania sahabat dekatnya. Aku dan Tommy hanya bias berpandangan
melihat sikap mereka berdua yang aneh.
“Friska, Tania. Udah dong, mereka
yang didalam tidak akan kenapa-kenapa.” Tommy menenangkan. Karena memang,
beberapa petugas penyelamat sudah datang.
“Tom, Ren. Rizky masih ada didalam.
Dia masih ada dilantai 4.” Friska kembali bicara. Kini kedua pipinya sudah
basah oleh air mata. Rizky, teman satu kelas dan teman terdekatku pula ternyata
masih ada didalam gedung. Sedang apa dia disana? Aku melihat Tommy yang mengerutkan
alis. Wajahnya berubah semakin cemas.
“Kak, mana kak Rizky?” Sara Anggoro. Gadis
yang beberapa bulan ini sering terlihat bersama Rizky, tiba-tiba datang
menghampiri kami dan menanyakan tentangnya. Kami hanya sanggup diam sambil
melirik kearah kobaran api.
Sara langsung paham maksud kami. Ia
berusaha menyerbu kerumunan untuk dapat berlari kearah gedung.
“Sara!” aku meraih pergelangan
tangannya. Menahannya untuk pergi.
“Rizkyyy…” ia berteriak histeris.
Tangisnya pecah dan tubuhnya terguncang hebat.
Aku memegangnya lebih kuat, tapi
Sara tidak bisa diam dan terus berusaha melepaskan peganganku. Sesekali ia bisa
kabur, namun sedetik kemudian aku kembali menahannya. Kobaran api yang melahap
sebagian gedung terlihat semakin besar. Kini sang Jago Merah semakin sulit
untuk dijinakkan. Berkali-kali Sara meneriakkan nama Rizky. Wajahnya basah,
tangannya berkeringat, ia mulai terlihat lelah. Namun ia tak berhenti mencoba
melepaskan cengkeraman tanganku.
“Sara, Rizky pasti baik-baik saja.”
Aku mencoba menghiburnya.
“Tidak! Dia pacarku dan sekarang
dia ada didalam gedung yang hampir terbakar seluruhnya. Apa kau pikir ia akan
baik-baik saja?!” Sara berteriak padaku. Wajahnya garang. Menunjukkan
perasaannya yang sangat kacau.
Tak lama kemudian para petugas
penyelamat keluar dari dalam gedung sambil membopong beberapa korban.
Mengetahui kekasihnya berada dalam rombongan, Sara melepas cengkeramanku dan
berlari menghampiri kekasihnya. Ia langsung memeluk dan mencium kening Rizky.
Rona bahagia menyinari wajahnya.
Aku terpaku. Seperti tertancap pada
bumi. Itukah cinta? Pengorbanannya yang begitu besar membuat orang hampir
bertindak konyol. Menyerbu masuk kedalam gedung yang sedang dimakan api tanpa
adanya pengamanan apa namanya kalo bukan konyol? Tapi, begitukah cinta?
Sesederhana itukah? Hanya butuh dua orang yang saling mencintai?!
Aku menghampiri Sara yang sedang
menunggu kekasihnya diperiksa oleh tim medis, dengan pelan, aku bertanya
padanya. “Apa alasanmu ingin menyelamatkan Rizky?”
Sara menoleh padaku dan mengernyit,
wajahnya terlihat bingung, seakan-akan aku baru saja menanyakan soal
penjumlahan 1+1 padanya.
Aku ikut mengernyitkan keningku,
berharap mendapat jawaban darinya, kemudian ia pun tersadar dan tersenyum.
“Alasan?” ia malah menanyakan
kembali pertanyaanku. Lalu akupun mengangguk mengharap segera mendapat jawaban.
“Mungkin, karena aku kekasihnya, karena aku mencintainya.” jawabnya.
“Cinta? Lalu apa alasan kau
mencintainya?”
Sara kembali mengernyit yang
membuatku semakin jengkel dan penasaran. “Perlukan sebuah alasan untukmu
mencintai seseorang?”
Kenapa dia malah kembali bertanya
padaku? Aku hanya mengedikkan bahu tanda tak mau menjawab apaun. Namun Sara
kembali tersenyum dan menghela napas.
“Kak, kurasa cinta tak butuh sebuah
alasan. Karena jika cinta membutuhkan alasan, ketika alasan itu hilang maka
cinta akan hilang bersamanya.”[1]
“Jadi, cinta se simple itu? Hanya membutuhkan dua orang
lalu cinta muncul?”
Sara menegakkan tubuhnya. “Cinta
tak pernah se simple yang orang kira.
Cinta itu rumit. Banyak sekali intrik didalamnya.
Tak hanya menyatukan dua orang dalam sebuah perjanjian untuk saling mencintai,
tapi juga menyatukan sifat, sikap, pemikiran, dan sebagainya. Tak mungkin ada
cinta jika kalian tak sehati dalam berbagai hal. Memang sepasang kekasih
terkadang banyak perbedaan, tapi banyak pula persamaan diantara keduanya. Dan ketika
mereka sudah menjadi kekasih, hubungan mereka tak se simple yang orang lihat dari luar. Perdebatan sering kali ada dan
mereka harus bisa menemukan jalan keluarnya. Cinta itu rumit. Kau harus
mencampurkan banyak sekali rasa rindu, pengertian, perhatian, bubuk-bubuk
cemburu, dan sebagainya sesuai takarannya agar kau menjadi pasangan yang awet
dan tahan lama.”
“Jadi? Cinta tak pernah sesederhana
itu?”
Sara mengangguk setuju. “Ya, Love is not simple.”
TAMAT
sek sempet nulis. HEBAT. Padahal Tugas'e numpuk :D
BalasHapus